Tuesday, November 26, 2013

Perang yang Paling Sulit.

Hi, lama tak menulis. Kaku rasanya jari ini mengetik dan merangkai kata. hehe.. Banyak hal yang telah dan sedang terjadi dalam beberapa bulan ini. Dimulai dari tanggal 19 September lalu, saat duniaku sekan jungkir balik. Anakku, yang terlahir prematur sehari sebelumnya, dipanggil kembali oleh Yang Meminjamkan. Teori tentang ilmu ikhlas yang aku baca dan aku sebarkan pada orang-orang disekitarku, mendadak menjadi sangat sulit untuk diterapkan pada diri sendiri. Ternyata benar, kalimat "I know how you feel" cuma pantas diucapkan oleh orang yang benar-benar pernah mengalami hal yang sama. Perasaan itu tidak bisa dikira-kira, direka-reka. Hanya yang menghadapi yang mengetahui. Takdir tak bisa dielak. Anak adalah titipan, sebagaimana juga semua benda dan non benda di dunia ini yang Allah izinkan kita untuk memakainya. Sehingga ketika Allah memutuskan untuk mengambil kembali salah satunya, tak ada daya upaya manusia yang bisa membatalkannya. 

Ahmad Sanju

Sanju, anakku, yang kehadirannya teramat sangat aku dan suamiku nantikan bahkan sejak hari pertama pernikahan kami. Namanya sudah ada, bahkan sebelum dia ada. Rencana-rencana tentangnya, semua telah disusun, bahkan sejak dia belum hadir di rahimku. We've plan everything. When I say everything, it really means everything. Namun kita hanya makhluk, punya rencana tapi tak punya kuasa menentukan yang mana dari rencana tersebut akan terlaksana dan yang mana yang harus direlakan. Dan Sanju adalah salah satunya yang Allah punya kehendak lain terhadapnya. 

Ilmu ikhlas.. sepertinya mudah saja ketika dibaca atau mendengarkan orang lain memaparkannya. Namun percayalah, ketika ikhlas itu dituntut atasmu, kau akan butuh waktu yang panjaang sekali untuk bisa menerapkan sepenuhnya, sekalipun kau tahu Ikhlas adalah satu-satunya cara agar rasa kehilangan tidak menyeretmu menjadi kufur nikmat. 

Setelah Sanju meninggal,  menyikapi dunia dengan sikap yang sama sebagaimana dulu ketika aku masih punya Sanju, tak kukira sangatlah sulit. 30 hari penuh aku memerangi rasa bersalahku, menimpakan semua sebab kematian Sanju pada diriku sendiri. Sekalipun aku tahu bahwa usaha-usahaku untuk menjaga anakku sudah maksimal, namun masih saja aku menyalahkan diriku sendiri. Setiap hari aku menghabiskan waktu untuk meng-gugel apa kira-kira penyebab kelahiran prematur. Apa salah ku, mengapa tubuhku tak mampu melindungi anakku sampai 9 bulan. Setiap malam meminta ampun pada Allah atas kelalalaianku dan meminta maaf pada suamiku karena aku merasa kurang baik menjaga anakku. 30 hari, every single day. Yang kemudian membuatku berhenti adalah ketika suatu malam, disela permintaan maafku yang kesekian ribu kali, suami menangis dan memintaku untuk jangan pernah lagi mengucapkan kata-kata itu. Sungguh, perang yang paling sulit adalah perang melawan rasa bersalah..

Meski mendapatkan 3 bulan jatah cuti melahirkan, aku memutuskan untuk kembali bekerja setelah 45 hari. Sekalipun kondisi fisik dan psikisku belum pulih benar, aku tahu bahwa keputusan itu tidak salah. Kesibukan membuatku sedikit banyak lupa pada kesedihanku. Teman-teman, dunia luar yang sudah 45 hari tak kulihat, pekerjaan-pekerjaan, sedikit demi sedikit mulai mengambil alih hari-hariku. Dukungan penuh dari suamiku yang selalu ada kapanpun aku butuhkan, membuatku sadar bahwa life must go on.  Rasa kehilangan tak kan pernah hilang sampai yang hilang itu tergantikan. Namun paling tidak, sekarang aku sudah merasa jauh lebih baik.

Allah yang maha baik pasti punya rencana yang jauh lebih baik, daripada rencana yang dibuat oleh manusia yang tak tahu apa-apa ini. Aku sangat meyakini itu. Semoga Allah berkenan menganugerahkan kami keturunan-keturunan lahi yang sehat walafiat dan panjang usianya, semoga kami juga sehat walafiat dan panjang usianya sehingga kami bisa mendidik dan membesarkan anak-anak kami dan mengajarkan mereka ilmu-ilmu tentang Allah. Amin ya Rabb.
 

Blog Template by BloggerCandy.com