Wednesday, October 26, 2016

Jodohkuuuu.. maunya ku dirimuuuuu...

Guys, alangkah indahnya hidup ini jika perkara jodoh bisa sesimpel lagu Om Anang. Liat seseorang, naksir, trus langsung tau bahwa dia jodoh kita, nikah, hepi ending. Kenyataannyaaaaaaaaa.... perkara jodoh bukan perkara gampang. Tapi jangan salah, yang bikin jodoh itu nggak gampang, most of the time adalah kita sendiri.

What?? Sungguh???

Iyap. Sungguh. Kenapa aku bisa bilang begitu? Jodoh ditangan Allah. Semua orang tau itu. Yang kita sering lakukan adalah, melupakan bahwa untuk menjemput si Abang/Adek Yayang itu, ada kekeliruan yang harus kita luruskan dan ada investasi dunia akhirat yang harus kita lakukan. Otherwise, jodoh akan terus berada di tangan Allah. :-D. Berikut unsur-unsur penghambat jodoh yang aku rangkum dari berbagai sumber:

#1 : Stereotype

Once upon a time, one of my friend, sebut saja namanya Melati, mengeluh tentang urusan percintaanya yang nggak kunjung berujung di pelaminan. duilee.. aku tanya sebabnya apa? padahal setahu aku laki-laki itu baik, pintar, dan yang paling penting selama bersamanya, Melati jadi lebih rajin ibadah. Melati pun menjawab "Mama papa nggak setuju karena dia suku *******". Aku tanya lagi "Why?". Dia jawab "Mama Papa percaya suku ***** tukang kawin, mereka takut aku dimadu". Naah.. Wahai para ortu, gimana anaknya mau cepet kawin kalo ortunya masih kayak gini? 

Dan  bukan hanya ada dalam fikiran orangtua, kita yang masih muda-muda ini pun buanyaaaakk yang masih punya fikiran steteotype. Kalo ditanya "kapan rencana nikah?" jawabnya "pengennya segera, tapi belum ada yang cocok". Ditanya lagi "emang nyari yang kayak mana?" Dijawab "yang baik dari keluarga baik, saleh, pintar". Ditanya lagi "mau nggak aku kenalin? aku punya temen yang pas sekolah dulu paling pinter di kelas, insyaallah keluarganya baik, dia seorang ustadz muda yang.." Langsung dipotong "Jangan ustadz dooonnggg...ntar aku nggak bisa hengot lageeeeeee". Nah loh.. katanya cari yang saleh.. *puyeng

#2: Overestimate/Underestimate sama diri sendiri

Ada buanyak jenis manusia di muka bumi ini, dan beberapa diantaranya adalah orang yang suka ngerasa paling hebat, dan ada orang yang selalu ngerasa paling rendah. Contohnya gini, ada banyak teman-temanku yang sampai sekarang belum menikah, padahal dia sendiri, keluarganya dan teman-temannya udah pada gotng royong mencarikan dia jodoh. Tapi selalu mentok lagi di dia. Alasannya macem-macem. Mulai dari "Masak lulusan S1 sih Tan, aku kan S2. Timpang dong ntar komunikasinya?" trus "Jangan yang lebih muda lah Tan, bisa-bisa aku berasa kawin sama anak remaja" sampai "Beda penghasilan Tan, dia nggak bakal bisa biayain aku, kasian dianya ntar.." yang bikin aku pengen timpukin si temen-temen somse ini pake sendal. 

Nah ada juga orang yang selalu mikir sebaliknya. Salah satu sahabatku (kamu pasti tau kamu siapaaa... hahaha) punya sejarah percintaan yang nggak mulus dimasa lalu, dan berefek ke dia sampai sekarang. Betapa pengennya aku melihat dia bahagia lagi (walaupun dia selalu bilang dia bahagia dengan hidupnya yang sekarang), bersanding lagi, dan bukan sekali dua kali juga beliau ini didekati oleh laki-laki yang mencoba membuka hatinya. Tapi setiap kali dia deket sama seseorang, sang sahabat pun mulai berfikir" This is not gonna work, karena aku mah apah atuh.." Dan setiap kali dia lagi nggak deket sama siapa-siapa, dia juga berfikir "mana ada yang mau sama aku, karena aku mah apah atuh" Ya Salam sahabatku sayang cinta beibeh.. mau nangis kejer rasanya tiap dia ngomong begitu, karena how can she thinks like that while she is such a lovely nice humble beautiful talented girl??
#3. Kurang Investasi

In my opinion, semua unsur-unsur penghalang jodoh yang kita bahas diatas itu adalah manifestasi sekunder dari kurangnya investasi akhirat kita. simpelnya gini, Abang/Adek Yayang itu kan ciptaan Allah. Kalau kita ingin memiliki, ya minta sama yang bikin. Bener nggak? Sadarkah kita? bahwa kita lebih banyak ngecengnya ketimbang shalat dhuha? padahal shalat dhuha itu adalah pelancar rezeki? Sadarkah kita, bahwa kita lebih banyak berkhayalnya ketimbang Tahajud? padahal tahajud adalah saat dimana doa-doa kita sampai ke Allah tanpa hijab? Sadarkah kita dikasih Allah 168 jam dalam seminggu, dan betapa beratnya kita menghabiskan 2 jam diantaranya di majelis-majelis kajian? Dan kita berharap Allah memberi kita jodoh yang super dengan investasi akhirat yang sangat minimal??? Sebegitu merasa hebatnya kah kita?? Ingat ya Kawan, Allah tidak akan menyia-nyiakan hidup hamba terkasihnya yang saleh, baik dan cerdas itu dengan menikahkannya sama orang egois yang berdoa aja males.
Guys.. 
Menikah adalah urusan orang dewasa. Dewasa bukan diukur pakai umur, apalagi harta. Orang dewasa yang siap menikah adalah orang yang dengan segala keterbatasanya dan segenap keyakinannya bahwa Allah akan memberikannya jodoh yang sekufu, berjuang menjadi manusia yang dicintai Allah. 

Mengutip dari sebuah catatan yang ditulis oleh Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhani, Banyak orang merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya sebatas menuntut, tidak tampak bukti kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu indah, bahkan lebih indah dari film-film India, Sahrukh Khan. Mereka tidak memandang bahwa kehidupan keluarga adalah arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan napas kesabaran panjang, kadang kegetiran mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih single, lalu dibuai penyakit malas dan manja, kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan generasi muda kita menjadi manusia-manusia yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal, namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus ideal, mereka menuntut orang lain yang menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun. Bagaimana mungkin Allah akan memberi nikmat jodoh, jika kita tidak pernah siap untuk itu? “Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sekadar sesuai kesanggupannya.” (QS Al Baqarah, 286). 

Ayolah, jika kita masih berfikir bahwa jodoh itu harus suku tertentu, shio tertentu, harus sagitarius, leo atau virgo, harus yang kerjaanya begini dan begitu, tenang-tenang aja ibadah alakadar karena jodoh pasti datang, berarti kita belum dewasa, dan ingat prinsip diatas: menikah adalah urusan orang dewasa.. Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima realita kehidupan rumah tangga, manis atau getirnya, dengan lapang dada.


Jangan pernah lagi bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah, sudah dewasakah aku??







Sunday, October 16, 2016

My Heart is Broken in Pieces..

I used to write everything down.. Selalu, dimasa lalu, menulis menjadi ajang pelampiasan untuk semua perasaan yang nggak bisa diungkapkan, rasa yang nggak bisa dibagi, dan kata yang nggak bisa dirangkai. Kesibukan yang nggak menentu sedikit banyak merenggut aku dari diriku, sehingga terkadang aku merasa yang tersisa dari aku hanyalah orang lain, melakukan segala demi orang lain..

Ah sudahlah. Yang penting sekarang aku menulis. Mungkin nanti kalian akan menyadari betapa aku menulis ini dengan hati yang hancur, diwakili oleh kata yang berantakan dan susunan kalimat yang tumpang tindih. Doesn't matter. Yang penting aku menulis.

4 tahun yang lalu, tak pernah terbayangkan seperti apa rasanya menjadi ibu. Sering sih berkhayal seperti apa nanti kalau aku jadi ibu, tapi hanya sebatas angan saja. 3 tahun yang lalu aku resmi menjadi ibu. Sanju lahir prematur dan umurnya tak panjang, my heart broke in pieces for the first time. Perasaan bahwa adalah ibu yang buruk tak berhenti menghantui bahkan terkadang masih muncul hingga sekarang. Kematian Sanju membuatku berjanji bahwa jika Allah mempercayakan aku seorang anak lagi, akan kucurahkan segenap hati perasaan dan jiwaku untuk mencintainya. 

Dan Allah mengabulkan doaku kurang dari 2 tahun kemudian. . Setelah melalui perjuangan tak mudah selama kehamilan, konsumsi obat anti penggumpalan darah hingga 3 hari menjelang operasi, diet rendah lemak, menghindari keramaian dan berusaha menjadi orang paling masa bodo (agar bisa jadi orang paling bahagia resepnya memang harus jadi orang paling masa bodo) sedunia, belum lagi rawat inap dan injeksi pematang paru, Azzam pun lahir .. Tak terkatakan perasaan ku ketika pertama kalinya aku melihat matanya, yang terbuka lebar dan jelalatan melihat kesana kemari, hanya 1 menit setelah dikeluarkan dari rahimku. 

Seperti yang aku janjikan pada diriku sendiri, aku mencurahkan seluruh hati dan perasaan ku untuk mencintainya, semua kekhawatiran yang sebelumnya menghantui, seperti takut tak mampu menyusui dengan benar, takut tak bisa memandikan dsb, luruh begitu saja begitu aku menyentuhnya. Allah memberi aku kemudahan untuk menyusuinya, menggendongnya, merawatnya, memandikannya, mencintainya..

setelah nyaris sebulan, bergadang tiada henti, merawat bayi tanpa ibu (ibuku wanita bekerja), mertua (beliau meninggal saat tsunami) dan asisten rumah tangga serta tekanan-tekanan yang muncul dari sekelilingku (beberapa hadir dari diriku sendiri) mulai menguasaiku. Aku jadi sensitif. Aku mudah sedih, mudah marah, beberapa kali aku marah karena tidurku yang hanya beberapa jam sehari itu terganggu, dan aku menangis tengah malam sembari menyusui anakku..  aku sangat tahu bahwa aku mengalami babyblue. Pelan-pelan aku mencoba mengatasinya, dengan bantuan suamiku yang selalu meyakinkan aku, bahwa dari sudut pandang manapun aku melihatnya, punya anak adalah anugerah. Aku tahu itu, aku sangat sangat sangat mencintai anakku, namun terkadang aku tak mampu menguasai diri untuk tidak merasa sedih, aku lagi-lagi merasa sebagai ibu yang buruk. mungkin saat itu aku mengalami babyblue yang parah, mendekati depresi, entahlah.. tapi aku bersyukur kami telah melaluinya..

Sampai cuti melahirkan habis, kami belum mampu menemukan solusi untuk perawatan anakku ketika aku bekerja. Asisten sudah dicari-cari tidak ketemu, semua saudaraku bekerja dan setelah kami berkeliling ke beberapa tempat penitipan, kami tak tega menitipkan bayi yang umurnya belum genap 3 bulan di tempat yang tak kami kenal dan diawasi oleeh orang yang juga tak kami kenal. Setelah berdiskusi dengan pihak kantor dan keluarga, kami sepakat bahwa untuk sementara waktu, bayiku akan ikut aku ke kantor. Maka mulailah kami mengangkut ayunan, kasur bayi dan beberapa mainan ke kantorku. Waktu itu kupikir semua akan baik-baik saja namun kenyataannya: tidak sama sekali.

Kantor bukan tempat untuk bayi, aku sharing ruangan dengan 2 temanku, dan ruangan-ruangan lainnya berjarak tak jauh satu sama lain. Ruangan yang tak seberapa besar itu saat itu dipenuhi dengan ayunan dan kasur bayiku, membuat kolega-kolegaku kurang nyaman bergerak. Bayiku harus tidur dan bermain seharian di dalam ruangan yang penuh folder dan debu, aku pun tak leluasa menyusuinya, karena selalu ada orang yang keluar masuk ruanganku, ketika itu terjadi, aku harus buru-buru menyudahi kegiatan menyusuiku. Anakku menjadi marah dan rewel, dan aku tak tahu harus berbuat apa. Setiap pagi aku membangunkan dan memandikan bayiku subuh-subuh agar tak telat tiba di kantor, dan kami juga harus pulang paling akhir, seringnya sampai malam, karena aku harus menunggu suamiku pulang kerja baru Ia bisa menjemput kami. Aku kasihan sekali melihat anakku, lagi-lagi hatiku hancur. Aku tak tahu harus lari kemana. Aku mulai merasakan tekanan-tekanan lagi. Niat awalku bekerja sembari merawat bayi, tapi aku malah tak bisa mengerjakan satupun. Aku tak bisa bekerja dan hatiku hancur berkeping-keping menyaksikan anakku tidur di kasur disamping folder-folder yang berdebu dan menangis sekeras-kerasnya setiap kali tidur dan menyusuinya terganggu, dan aku tak bisa menyalahkan teman-temanku maka aku menyalahkan diri sendiri.. Lagi-lagi, aku merasa menjadi ibu yang buruk.

Setelah lebih satu bulan aku membawa bayiku ke kantor, tekanan-tekanan dalam kepalaku tak mampu lagi kubendung, aku tak tega melihat anakku. Aku sangat mencintainya tapi aku malah tak mampu memberikannya tempat yang nyaman.  Aku pun menangis sekeras-kerasnya di teras belakang kantor. Aku depresi. Aku merasa sangat sangat buruk. Aku sudah kehilangan satu anak dan ketika itu aku merasa sangat takut Allah akan mengambil anakku yang satu lagi karena aku ibu yang buruk. Sampai akhirnya salah satu teman kantorku memberiku solusi, bagaimana kalau kami menyewa sebuah rumah di dekat kantor, agar aku tak perlu meninggalkan anakku terlalu lama dan terlalu jauh. 

Saran itu membuat kami tinggal selama 1 tahun di sebuah rumah sewa tak jauh dari kantorku. Allah begitru baik, solusi demi solusi datang ketika kami menyea rumah itu. Rumah itu berlokasi sangat dekat dari kantorku, aku menemukan katering di depan rumah sewa itu, dan pengasuh bayiku juga tinggal di sebelah rumah kami. Setelah masa sewa berakhir, kami pindah ke sebuah rumah baru di tengah kota. Allah memberi kami kemudahan sehingga kami bisa membeli sebuah rumah atas nama kami sendiri. Azzam pun sudah besar, maka kami menitipkannya disebuah day care tak terlalu jauh dari rumah. Aku juga terus belajar dan belajar menjadi ibu yang baik. Anakku tumbuh sehat dan ceria, ditengah suasana yang kami buat senyaman mungkin baginya.. 

Namun tadi malam adalah mimpi buruk buatku dan anakku, mungkin juga bagi suamiku. Beberapa hari terakhir ini Azzam tidur sangat larut. antara pukul 10.30 - 11.00 malam, padahal biasanya dia tidur jam 9 malam dan bagun jam 7 pagi. Entah aku terlalu lelah atau terlalu banyak tekanan di kantor, tadi malam aku memarahi anakku, setelah 2 jam berusaha menidurkannya namun ia tetap berkeras ingin bermain, jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Aku tak tahan lagi, aku membanting pintu kamar dihadapannya dan berteriak padanya. Astaghfirullah.. segera setelah itu aku menyesal dengan penyesalan yang amat sangat, aku meminta maaf padanya namun ia sudah terlanjur menangis sangat keras. Ya Allah.. hatiku hancur.. jahat sekali aku melalukan itu pada anak berumur 20 bulan?? Setelah sekian lama tak kurasakan, perasaan itu muncul lagi. Rasa menjadi ibu yang buruk. Aku memeluknya, meminta maaf dan menggendongnya, mengusap kepalanya dan membacakan selawat, ia pun tidur dengan wajah basah oleh air mata setelah menangis selama satu jam. Azzam bukan anak yang cengeng, ia tak suka menangis, namun melihatnya menangis selama itu, aku sadar betapa aku sudah sangat melukai perasaannya.. Pukul 2 pagi ia terbangun dan menangis keras selama satu jam. tak pernah aku melihatnya sesedih itu.. aku benar-benar merasa jahat.. Aku terus meminta maaf sampai ia tertidur..

Ah entahlah, padahal aku tahu bahwa anak adalah titipan. Dan Allah menginginkan kita menjaga titipan tersebut dengan baik, namun ada saja kejadian-kejadian yang membuat kita melanggar janji kita untuk selalu menjaga anak kita dengan baik, sebagian besar didasari oleh alasan-alasan yang sama sekali bukan salah anak kita..

Hari ini aku sangat ingin bersamanya, bermain dengannya, menyuapinya, mengungkapkan cintaku padanya seharian.. hatiku teriris ketika meninggalkannya di day care tadi pagi, karena sungguh aku ingin menghabiskan waktu hanya dengannya hari ini..

Bantu aku Allah.. bantu aku menjadi Ibu yang lebih baik..


 

Blog Template by BloggerCandy.com