Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al Hujuraat : ayat 13 )
Pada zaman dahulu kala, salah satu temenku, sebut saja namanya Melati (halah..) minta izin nikah sama ortunya. Dia merasa sudah klik sama seorang laki-laki yang-menurutku- memang baik. Yah, salah satu contoh lelaki calon mantu idaman lah. Pinter, baik, sering jadi imam sholat, punya visi misi hidup yang jelas, dan serius ingin menikahi temanku. Tapi alangkah sedihnya Melati waktu ayahnya menjawab "Ngapain sama dia? dia kan suku Betawi, tukang kawin, bisa-bisa dimadu 4 kamu!!!". Temenku kaget, sama sekali tidak menyangka akan ada komentar berbau SARA keluar dari mulut ayahnya yang pejabat tinggi daerah, tapi ibunya mencoba menenangkan dengan berkata "sabar nak..maksud ayahmu baik, beliau ga mau kamu cepet-cepet nikah karena masih kuliah..". Nah untuk alasan itu, temenku setuju. Demi ortunya, dia menolak lamaran laki-laki baik itu dengan halus, dan akhirnya laki-laki itu menikah dengan perempuan lain.
Beberapa bulan kemudian, temenku yang lain yang namanya Bunga (bukan nama sebenarnya) curhat, betapa sulitnya mendapat restu dari keluarga besarnya, atas hubungannya dengan si Jojon, seorang cowok yahud kece bin keren yang sudah dia kenal dari semester satu. Aku juga kenal sama si Jojon itu, baik dan memperlakukan temanku dengan sangat baik. Sejak awal hubungan mereka, setiap kali ditanya kenapa dia memilih Jojon (yang sebenarnya pertanyaan itu cuma bermaksud untuk menghibur, secara cuma si Jojon yang naksir dia.hahahaha) dia selalu jawab "Tan, Jojon tuh..aku banget.." artinya si Jojon tuh memenuhi hampir semua prasyarat yang dia mau dari seorang seorang cowok. Lalu, apa salah laki-laki malang itu sampai keluarga besar temanku belum merestui mereka? "Apa-apaan kamu?? mau kawin sama orang Batak??? mereka tuh kejam, kasar, bisa-bisa dibunuh kamu!!!". Masya Allah..
Cape dehhh... meski udah zaman milenium, ongkos keluar negeri udah murah, orang-orang asing berseliweran di depan mata dan National Geographic Adventure setiap mengirim si Diego buat traveling keliling dunia, ini bukan pertama kedua kalinya aku mendengar orang-orang menjadikan alasan suku, bangsa, agama dan ras sebagai pembenaran atas tuduhan buruk mereka pada orang lain. Kalimat-kalimat seperti "Hati-hati sama orang Aceh, mereka gila, temperamen,kalo kambuh tar ditusuk pake rencong", atau "Males banget temenan sama orang Padang, pelit abiss!!", belum lagi "What? pacaran sama orang Kalimantan?? OGAH!!!! mereka kan primitif" dan sebagainya, masih suangaaaaattt sering terdengar dimana-dimana. Nah, generalisasi suatu populasi yang didasarkan pada kejadian di satu sampel itulah yang disebut STEREOTYPE.
Singkatnya, stereotype tu ketika kita mengeneralisasi seluruh penduduk negeri cuma gara-gara perbuatan satu orang, mengeneralisasi seluruh umat agama tertentu cuma gara-gara ulah satu orang, atau dengan kata lain, we judge the book simply by it's cover.
Bukan cuma dalam hal hubungan asmara saja, tanpa sengaja atau dengan sengaja, kita sering sekali mengait-ngaitkan keburukan orang lain dengan sukunya, agamanya, atau negaranya. Misalnya nih ada kejadian menantu disiksa di rumah tetangga, langsung deh tanpa kontrol, kita ngamuk sejadi-jadinya (nah ini nih yang paling bego, apa urusan kita coba??) dan mulai deh proses yang disebut "the haters propaganda". Proses ini dimulai dari:
Pendahuluan: Mengumpulkan "dosa-dosa" besar dan kecil dari tetangga tersebut (fakta bahwa tetangga itu dulu yang nolongin kita waktu lagi kismin surimin, tetangga itu suka ngasih sumbangan ke masjid dan tetangga itu selalu datang pas lebaran bawa parsel segede gaban dikesampingkan dulu deh)
Metode Penelitian: Generalisasi atas seluruh anggota keluarga si Tetangga dan mengumpulkan dukungan dengan cara menyebarkan statement : "Dasar tetangga ga tau diri, tukang siksa, inget ga kejadian A? nyolot banget kan? inget ga kejadian C? belagu banget kan? inget ga kejadian D? kurang ajar banget kan, orang Dayak sih.. Lagian Bapaknya kan dulu pernah tinggal kelas, Ibunya pernah ikut miss Universe tapi ga menang, Anaknya suka pake jins robek, Kakaknya idungnya pesek, tantenya, om nya..".
Hasil Penelitian : Seisi kampung mulai ikut-ikutan membenci si tetangga, padahal ga kenal-kenal banget..
Pendahuluan: Mengumpulkan "dosa-dosa" besar dan kecil dari tetangga tersebut (fakta bahwa tetangga itu dulu yang nolongin kita waktu lagi kismin surimin, tetangga itu suka ngasih sumbangan ke masjid dan tetangga itu selalu datang pas lebaran bawa parsel segede gaban dikesampingkan dulu deh)
Metode Penelitian: Generalisasi atas seluruh anggota keluarga si Tetangga dan mengumpulkan dukungan dengan cara menyebarkan statement : "Dasar tetangga ga tau diri, tukang siksa, inget ga kejadian A? nyolot banget kan? inget ga kejadian C? belagu banget kan? inget ga kejadian D? kurang ajar banget kan, orang Dayak sih.. Lagian Bapaknya kan dulu pernah tinggal kelas, Ibunya pernah ikut miss Universe tapi ga menang, Anaknya suka pake jins robek, Kakaknya idungnya pesek, tantenya, om nya..".
Hasil Penelitian : Seisi kampung mulai ikut-ikutan membenci si tetangga, padahal ga kenal-kenal banget..
Stereotype minded memang tidak selamanya buruk, apabila digunakan untuk menganalisa kebaikan orang lain. Misalnya nih, ada yang bilang "eh tau ga? aku pengen loh kerjasama sama Muslim Aid, ceweknya cantik-cantik, kemaren aku ketemu satu, namanya Intan". Huwaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa... atau ada yang bilang
"Kalo cari mantu sana di Perumnas Indiser, anak-anak Perumnas Indiser baik budi semua, aku kenal satu orang, namanya Intan Maulida", nah kalo kayak gitu boleh banget.,hehehe... Tapi sayangnya, sering sekali kita sibuk menganalisa kesalahan orang lain sampai lupa menganalisa kesalahan diri kita sendiri, pokoknya bawaannya, bencii terus sama orang, pokoknya kalo liat orang, pikirannya negatiiiifff terus. Dan anehnya, orang-orang yang stereotype minded ini biasanya adalah orang-orang yang sama sekali belum pernah bertemu langsung/bersentuhan langsung/berinteraksi langsung/kena dampak langsung dari hal-hal yang ia benci, melainkan dipengaruhi oleh kabar burung, gosip-gosip ga jelas, statement lebay penuh propaganda dari orang-orang yang merasa dirinya paling benar, atau eksploitasi media yang sifatnya menghasut.
Salah satu contoh, mantan kolegaku yang notebene orang Jerman, pernah ngomong gini "waktu sahabat-sahabatku tau aku akan kerja di Indonesia, mereka pada ketawa, katanya aku cuma buang-buang waktu karena orang Indonesia terkenal bego, lelet, ga bisa diatur dan moody. Tapi sekarang aku bisa bilang sama mereka bahwa at least, kolega-kolega dan orang-orang Indonesia yang aku kenal ga begitu". Pas denger dia ngomong begitu, aku jadi inget ketakutanku ketika pertama kali dapat tawaran pekerjaan dari kantor Jerman itu, ketakutan yang berasal dari gosip-gosip bahwa orang Jerman pelit, pemarah, terlalu serius dan bossy. Sekarang aku bisa umumkan pada tukang-tukang gosip itu, bahwa at least orang-orang Jerman aku kenal, ga begitu.
Balik lagi ke stereotype tadi. Menurutku itu tak lebih dari sikap berlebih-lebihan, overreacted. Allah melarang umatnya untuk bersikap berlebih-lebihan, di dalam Al-Quran banyak sekali ayat yang menyatakan ketidaksukaan Allah pada orang yang berlebih-lebihan .
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah disetiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al A`raaf : 31)
Diantara sifat-sifat tercela yang dilarang oleh syari`at ialah berlebih-lebihan. Berkata ar- Raaghib : “Sikap berlebih-lebihan itu adalah sikap melampaui batas dalam segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia ,walaupun di dalam berinfaq – dimana sikap berlebih-lebih ini lebih dikenal”.
Dalam salah satu hadistnya, Rasulullah berkata bahwa " Janganlah kamu mencintai sesuatu secara berlebih-lebihan, karena pada setiap sesuatu itu ada kekurangan, kekurangan itu lah yang kelak akan tampak bagimu dan membuatmu kufur, dan janganlah kamu membenci sesuatu secara berlebihan, karena pada setiap sesuatu ada kebaikan, kebaikan itulah yang akan menjadi penolongmu disaat sulitmu, sehingga kamu akan malu karena telah bersikap kufur, sesungguhnya setiap hal yang berlebihan akan menyeretmu menjadi kufur"
Seorang sahabatku pernah bilang, bahwa since human are made from exactly the same ingredients dan ruh dalam tubuh kita dihembuskan oleh exactly the same Dzat, maka pada fitrahnya manusia memiliki perasaaan yang sama, rasa sakit yang sama, rasa marah yang sama. Itulah sebabnya semua orang sepakat bahwa rasa cabe itu pedas, es itu dingin, api itu panas, dicubit itu sakit dan kanker itu mematikan, karena pada dasarnya kita-selain amal kita-adalah unit-unit yang sama persis. So, tidak ada salahnya kan kalau mulai sekarang kita menyaring semua ucapan kita, tingkah laku kita, memilih untuk hanya mengatakan yang baik, sebagaimana kita harapkan orang lain akan berkata dengan kita dan memperlakukan orang sebagaimana perlakuan yang kita harapkan dari orang lain? However, kita ga pernah tau apa yang akan terjadi sama hidup kita besok, bahkan sejam lagi. Bisa aja kan tiba-tiba orang yang suku/bangsa/negara/agamanya kita caci maki, ternyata adalah penolong kita disaat sulit? atau gimana kalo ternyata jodoh kita adalah salah seorang dari populasi yang kita hina dina tadi? apa ga malu? nah loh, itu yang namanya-menurut istilah Tania sohibku-termakan cakap. hehehehe..
Sudah saatnya kita bercermin dan menanamkan dalam hati kita "Seberapa baiknya kah aku, sehingga aku merasa pantas membicarakan keburukan orang lain? secerdas apakah aku? sehingga aku merasa cukup pintar untuk menganggap orang lain bodoh? Seprofesional apakah aku, sehingga aku pede-pedenya mengolok-olok profesionalitas orang lain? Sesempurna apakah aku, sehingga aku merasa cukup baik untuk mengeksplorasi ketidaksempurnaan orang lain??" Unity in diversity, bersatu dalam perbedaan. Kalau semua orang mau sedikit saja lebih bersabar dan ingat bahwa manusia memang diciptakan berbeda, and all we have to do is to respect each other, insya Allah Bhineka Tunggal Ika dan perdamaian dunia bukan cuma khayalan.. :-)
Photo Galery : Unity in Diversity :-)
ICON Team: Aceh, Chinesse, Jerman, Peru
Kompak makan bakso : Aceh, Jerman
GTZ ERMF : Aceh, Jawa, Bali, Arab, India, Lombok, Jerman, Nicaragua, Batak.
Postgraduate Colloquium : Indonesia, Malaysia, Singapore, Cambodia, Iran, Palestine, Irak, China.
Sahabat baik : Indonesia, Cambodia, Malaysia, Iran
Kompak makan bakso : Aceh, Jerman
GTZ ERMF : Aceh, Jawa, Bali, Arab, India, Lombok, Jerman, Nicaragua, Batak.
Postgraduate Colloquium : Indonesia, Malaysia, Singapore, Cambodia, Iran, Palestine, Irak, China.
Sahabat baik : Indonesia, Cambodia, Malaysia, Iran
Perbedaan itu membuat indah, kalau setiap orang mau menjadikannya sebagai unsur penting dalam belajar dan berteman. Allah memerintahkan kita merantau dan berjalan di muka bumi agar kita sadar bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang, kota-kota, gunung, pohon, buah dan iklim yang berbeda-beda, sehingga kita menjadi lebih kaya ilmu, kaya hati, lebih bersyukur dan punya banyak saudara.. Kalau kita belum bisa berdamai dengan perbedaan, gimana mau banyak sodara? :-)