Monday, May 28, 2012

Catatan orang galau part 2



Hei,  I am back with another catatan of the galaus (orang galau dalam bentuk prural). Tapi kali ini fokusnya adalah : SAYA. yeeeeeeyyyyyy!!! Ternyata meskipun setelah menulis Catatan Orang Galau part 1 minggu lalu aku merasa sudah baik-baik saja, ternyata kegalauannya masih berlanjut. hikss.. Seperti biasa, aku selalu berusaha menuliskan apapun yang aku rasa, fikir dan lihat, supaya ketika someday aku mengalami hal yang sama lagi, aku bisa membaca kembali catatan-catatan yang telah lalu dan menemukan kembali pencerahan-pencerahan yang menyertai kegalauan tersebut. *cihuuyyy.. cerdas sekali ya bahasa saya.. hehehehe..

So, apakah penyebab kegalauan ini masih sama seperti yang kemarin? Yup, masih sama sih sebenarnya, mungkin yang aku butuhkan hanya sedikit liburan dan hiburan, untuk men-destruct fikiran galauku dan mengalihkannya ke hal lain. Okelah, aku jujur saja, penyebab terbesar dari kelagauan itu adalah keinginan, keinginan yang sangat kuat akan sesuatu, yang hadir dari sebuah perjalanan singkat, dimana perjalanan singkat itu mempertemukanku dengan sesuatu yang aku cari dan aku impikan bertahun-tahun. I used to think that those kind of near-to-perfect thing is not exist. Ternyata ada, nyata, terlihat, terdengar dan terasa. Begitu dekat, sangaaaattttt dekat, yang sebenarnya hanya butuh satu kalimat nyata dan satu kalimat tanya saja, untuk membuatku tahu apakah "that thing" memang tercipta untukku atau tidak..

Well, inilah yang selalu dikeluhkan oleh sahabatku, Tania Gustania Kriwil Melati Mewangi, kepengecutanku untuk bertanya dan ketiadaan keberanianku untuk menyatakan. Satu pernyataan dan satu pertanyaan saja, satu saja, dan aku benar-benar tak kuasa melakukannya, padahal hanya  itu saja yang bisa menyelamatkan aku dari kegalauan tak berujung ini. Suruh aku presentasi apa saja, dedepan siapa saja, seramai apapun, dimana pun, kapanpun, tanpa persiapan apapun, aku siap. Aku berani. Aku confident. Tapi suruh aku menyatakan dan menanyakan, tak ada yang bisa kulakukan selain diam.

So, awalnya aku fikir, ah, aku yang galau, aku yang pengecut, aku yang absurd, apa pengaruhnya pada orang-orang?? But, aku yang makhluk sosial ini- sama seperti yang lainnya juga- tak bisa bertahan tanpa mengadu, aku selalu perlu mengadu. Dan pengaduan-pengaduan tanpa solusi (karena solusinya ada tapi tak berani kuperbuat) ini benar-benar melelahkan. Melelahkan ku dan melelahkan sahabat-sahabatku..

Sampai tadi pagi, ketika aku berdiskusi dengan Ina, sahabat sekaligus rekan kerja sekaligus penasihat spiritualku mengenai mimpi, harapan dan kegalauanku.. Habisssss lah aku diceramahi panjang lebar.. intinya, dia beranggapan bahwa sumber kegalauanku adalah aku sendiri, idealismeku yang sama sekali tak fleksibel, kepengecutanku untuk menyuarakan keinginan ku dan kesesuaian yang terlalu nyata antara mimpiku dengan "that thing" yang berbanding terbalik dengan reaksi "that thing" terhadapku. Nah, apa pula itu?

Istilahnya begini loh, ini masalah terbesarnya. Ibarat echo, suara-suara dalam kepalaku yang hadir karena kekaguman itu, memantul kesana kemari melalui dinding-dinding hatiku, menyebabkan seluruh perasaan dan tubuhku bereaksi atas kehadiran, penampakan (dalam artian positif ya), sinyal-sinyal samar, dan benda apapun yang berhubungan dengan "that thing". Dan, apa yang dipantulkan kembali oleh "that thing"? NOTHING! See?? Hal itu yang membuat aku jadi galau berkepanjangan, karena satu sisi aku yang super duper pengecut ini memilih untuk memendam dan menyimpan semuanya sendiri, tanpa sedikitpun keberanian untuk menyatakan dan menanyakan, sementara disisi lain, aku tak bisa secara otomatis menemukan jawabannya karena "that thing" tidak membalas echo ku, yang, disisi lain lagi, tak bisa kusalahkan karena echo-ku cuma memantul-mantul internal saja, yang tentu saja tak akan tertangkap oleh antena "that thing" yang lokasinya jauh. Fiuuhh.. cape dehh..

Ina menyimpulkan bahwa kegalauanku sudah sampai pada tingkat absurd, yang menjadikanku tidak realistis. Tidak realistisnya aku tersebut, menjadikanku silau sehingga pandanganku seolah tertutup dan mengabaikan kesempatan-kesempatan lain yang sebenarnya sedang wara-wiri di depanku. Ketidakrealistisan itu juga membuatku jadi sering membandingkan apapun dengan "that thing", yang tentu saja berujung pada kegalauan yang ,lebih besar, karena "that thing" memang sudah menemukan tempatnya di hati, logika dan perasaanku sebagai picture perfect.

Nah, pada akhirnya, Ina pun mengusulkan dua opsi, yang harus aku pilih untuk mengatasi masalahku. Yang pertama, perjuangkan. Yang kedua, lupakan. Kalau aku memilih yang pertama, aku harus siap menghadapi resiko sakit hati sakit kaki sakit kantong (mahal dan jauh euy!), kalau ternyata setelah pernyataan dan pertanyaan itu kuajukan, antena "that thing" tetap tidak membalas echoku. Sedangkan kalau aku memilih opsi kedua, artinya aku harus benar-benar ikhlas melepaskan dan melupakan, dan membuka mata terhadap kesempatan-kesempatan yang lewat. Apapun opsi yang aku pilih, aku tetap harus melibatkan Allah dalam setiap keputusan yang aku ambil, karena yang benar datangnya dari Allah..

Well, pada intinya sih, dia mengatakan bahwa galau itu, peredanya adalah realistis, dan obatnya adalah ibadah. Okeeeee my darling Tania, my honey Ina, I'll try my best lah.. Harus istikharah dulu nih sebelum memilih..  huhuhuhu.. Apapun, aku yakin, takkan ada doa yang tak terjawab, yang harus aku lakukan sebagai manusia adalah tetap meminta, berusaha (ini yang kurang banget..) dan ikhlas..

Doakan saya ya.. Love u guys.. 


0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by BloggerCandy.com