Thursday, June 28, 2012

Kapalo dan Teori Relativitas Einstein

This is the story of "kapalo.."

Buat yang bukan orang Aceh mungkin ga faham apa itu kapalo. "Kapalo" itu adalah istilah yang biasa dipakai orang-orang di Aceh untuk menyuarakan aspirasinya *halah terhadap satu kejadian yang ga biasa dan cenderung genting. Tapi beda dengan "ya ampun" yang bisa digunakan untuk hal-hal yang lebih jamak seperti heran dan kaget yang bernuansa positif atau negatif, "kapalo" lebih sering digunakan kalo situasinya bener-bener aneh bin ajaib atau berada di ujung tanduk. Masih bingung? ilustrasinya kira-kira gini:

Somebody #1  : Buset, aku lagi enak-enaknya pacaran sama si A, dateng pula si B, pacarku yang satu lagi. Kapalo..

atau

Somebody #2 : Waaa.... gara-gara nonton Euro jadi telat ke kantor. Kapalo.. kapaloooooo..

Ya, semoga dua contoh diatas sudah cukup menggambarkan lah, betapa gentingnya kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang berteriak "kapalo".

So, apa penyebab ke-kapalo-an kita hari ini? Buanyaaakkk.. sodara-sodara. Tapi aku hanya akan menceritakan  yang menurutku paling signifikan saja lah ya. 

Ceritanya begini, aku punya phobia yang luar binasa terhadap tangga. Bukan ketinggian. hanya tangga. Aku takuuut sekali disuruh turun tangga sendirian. Apalagi ketika tangga itu bisa bergerak (eskalator), maka ketakutanku akan tambah parah. Pernah aku dan sepupuku, Witri ribut diujung eskalator pas lagi shopping, karena dia menarik-narik aku ke eskalator sementara aku menarik-narik dia menuju elevator, which is, dia ga suka karena dia klaustrophobia. Jadilah kami seperti maen sinetron, lengkap dengan adegan tarik menarik, dorong mendorong, tereak-tereak dan tangis-tangisan. Akhirnya, setelah 15 menit maen sinetron dengan ditonton oleh banyak orang di mall itu, kami memutuskan untuk turun masing-masing pake armada kesukaan masing-masing, dan ketemu dibawah.

But kejadian kapalonya terjadi beberapa minggu yang lalu, pas kantorku pindah ke gedung baru yang lebih gede dan berlantai dua. Berhubung aku takut sama tangga, maka aku menghiba-hiba sama orang HR untuk menempatkan ruanganku di lantai satu. Tapi apalah daya, walaupun aku akhirnya mendapatkan ruangan di bawah, namun seperangkat manajemen semua ditempatkan di lantai dua. Means, tetap akan ada adegan naik turun tangga untuk minta tanda tangan. But fine lah, waktu itu aku fikir I'll be fine, selalu ada orang yang bisa dimintai tolong untuk megangin aku pas turun tangga.

Namun dalam hidup manusia selalu ada titik terendah, ketika semua kekerenan terkorbankan dalam sebuah peristiwa bodoh *hahaha.. Hari itu adalah hari senin, minggu kedua di kantor baru. Aku puasa, jadi aku menghabiskan waktuku mengerjakan tugas di ruanganku. Sama sekali tidak keluar-keluar, maklum, dikejar deadline. Akhirnya setelah perjuangan 4 jam penuh dengan peluh dan air mata, selesailah si Peningsial Repot (baca: Financial Report) itu. Artinya aku harus segera keatas untuk minta tanda tangan boss. So, dengan penuh kepedean tingkat dewa, aku pun keluar ruangan, dan naik tangga dengan tertatih-tatih (walo tertatih tapi aku berani naik tangga).

Aku pun mengetuk pintu pak boss. Sekali, dua kali, tiga kali, tak ada jawaban. Aku ucapkan salam, tak ada jawaban. Aku panggil, tak ada jawaban. Angin berhembus pelan dari teras, semilir, tapi sepi. Sepi??? yeah, baru aku sadari tak ada seorangpun di lantai dua. Aku melongok ke bawah, juga sepi. Sama sekali tak ada orang. Aku lihat jam, 12.55. Eh ternyata jam makan siang, pantas saja kantor kosong. Hah, kosong??? this is terrible.. Aku tereak panggilin orang-orang yang mungkin masih ada di kantor, tapi tak ada jawaban sama sekali. 

I am completely alone, di lantai dua, takut gempa dan ga berani turun sama sekali. Jantungku berdegup kencang, mulutku mulai mendesis "kapalo..kapalo.. kapalo...". Tapi aku kemudian berfikir, setiap manusia dilahirkan untuk berjuang. Maka jika aku harus mati, biarlah aku mati dalam perjuangan. Itu lebih keren dan motivating bagi orang-orang yang nanti membaca beritanya di koran. Jadi aku putuskan untuk turun.

Langkah pertama sangatlah berat sekali. Berasa mau pingsan.. namun aku menguatkan diri. Dengan membaca basmalah, al-fatihah dan ayat kursi, aku pun melangkah, pelaaaannn sekali, dengan kaki bergetar, satu tangan memegang erat pengaman, dan tangan lainnya meraba-raba dinding mencari perlindungan. Satu anak tangga pun terlampaui. Aku merasa keren.. tapi perjuangan belum berakhir. Masih ada 15 anak tangga lagi. 

Di anak tangga kedua, aku membaca surah Al-Alaq sembari turun. Habis satu surah, anak tangga pun terlampaui dua biji. Aku senang bukan kepalang. Aku pun melanjutkan perjuanganku dengan membaca surah-surah selanjutnya. And, tepat ketika masih ada 10 anak tangga lagi kebawah, aku stuck. Hafalanku tak banyak. Aku pun terdiam. Harus cari cara lain. Lalu muncullah ide cemerlang itu di kepalaku. Aku nyanyi saja. Lalu, masih dengan gerakan merayap-rayap, aku pun turun lagi sambil menyanyikan lagu "somewhere over the rainbow". Tapi lagi-lagi, lagu itu habis ketika masih ada 5 anak tangga lagi dibawahku. Aku pun mulai pucat. Aku kemudian mulai berfikir tentang kata-kata motivasi yang aku baca di buku Ghandi. Bahwa perjuangan harus berlanjut, bahwa setiap manusia harus berfikir maju, beriman pada Tuhannya, dan mencintai sesamanya. Dengan semangat penuh, aku pun kembali merayap turun.

Dan.. disitulah.. ketika kakiku akhirnya menapaki anak tangga terakhir. dengan ekspresi pucat pasi, tangan gemetaran, kepala pusing, kening penuh keringat dingin dan nyaris menangis histeris, munculllah mereka.. my office mates. Segerobak tolak, ketawa ketiwi, muka segar abis makan siang, dan menyapaku..

"hai intan.."

Begitulah hidup. Ketika kau harus sendirian dalam perjuangan yang teramat sangat berat, ketika kau bisa saja mati terguling-guling dari tangga, ketika wajahmu mengguratkan kepedihan yang amat dalam sebagai manifestasi dari perjuangan tanpa henti, mereka, yang seharusnya jadi mitra berjuangmu, muncul, terlambat berabad-abad dari yang seharusnya.. Atau akukah yang tak sabar? Kalau aku menunggu kan aku bisa turun dengan tangan dipegangi dua orang bagaikan mempelai wanita ya kan?

Aku pun tersenyum, hanya segaris, senyum terpaksa dilandasi sebel luar biasa.. 

Tak lama aku menoleh ke jam dinding, ingin menunjukkan pada sohib-sohib itu bahwa temannya baru saja berjuang berabad-abad menuruni tangga dan betapa teganya mereka makan siang nggak bilang-bilang aku dan bisa saja ketika mereka pulang aku hanya tinggal nama dan.. hei... wait... kenapa jam di dinding menunjukkan pukul 13.00? Masih dengan muka terbengong-bengong aku melangkah ke dapur, liatin jam yang disana, juga 13.00. Heh?? jadi perjuanganku dengan segala macem hafalan, lagu parau dan motivasi ala Ghandi itu cuma 5 menit doang???? Jadi masa aku tertatih-tatih itu, berusaha menyambung hidupku dan berjudi dengan nasib itu berlangsung 5 menit doang??? Yaeeelllaaahhhh...

Ternyata teori relativitas waktunya Mbah Einstein memang tak main-main ya.  Betapa 5 jam hengot bersama gebetan kita terasa sangat singkat, sementara perjuangan 5 menit bertahan mengatasi ketakutan terasa bagai berabad-abad. Mungkin kasusnya sama kayak newly wed couple yang pengeeeennnn banget punya anak. Ditambah lagi dengan pertanyaan kanan kiri muka belakang tentang "kapan hamil? kok belum hamil? sengaja nunda ya? blah blah blah" yang membuat si couple itu merasa kayak pasangan tua renta yang kesepian, padahal mereka baru nikah dua bulan.
 
Anyway, demikianlah kisah kapaloku hari ini, disamping beberapa kisah kapalo lainnya yang terjadi di kantor ini. Pada akhirnya, entah ada hubungannya atau tidak dengan phobia tangga yang ga keren sama sekali itu, aku punya falsafah hidup keren yang terinpirasi dari kejadian ini, yang aku pilih sebagai penutup artikel ini.

"Hidup ini singkat Guys, terkadang kita menghabiskan masa mencari pertolongan, padahal terkadang pahlawan terdekat kita adalah diri kita sendiri, be strong aja lah yaaaaa"





0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by BloggerCandy.com